rekonsiliasi.

Berlari bersamanya memang menyenangkan. Tapi semakin aku berlari mengejar dia, semakin habis udara yang kumiliki untuk bernapas.

Aku menikmati hidupku yang penuh kabut hingga hari ini. Jalan yang tidak dapat aku terka akan ke mana, atau akan ada apa. Tetap berjalan ke depan dan memberanikan diri menghadapi resiko: tersandung, jatuh, tenggelam, bahkan mati; seperti berjalan menggunakan penutup mata dalam film Bird Box. Tapi selama kaki kita masih bisa menginjakkan tanah, kita masih dituntut untuk terus berjalan. Semua orang memiliki rute perjuangannya masing-masing, dan bagaimana mereka bisa bertahan; termasuk tentang bagaimana mereka menjalani hubungan dengan orang lain.

Aku masih berjalan (atau mungkin berlari?) bersama seseorang, melewati kabut-kabut ini. Jalan yang kami lalui terjal, banyak batu-batu licin yang ingin membuat kami tergelincir dan mati. Kabutnya pun tebal, kami susah melihat dan bernapas. Kami berlari ke depan yang kami sendiri tidak tahu akan membawa kami ke mana; akankah ke padang rumput yang hijau atau lembah kematian yang kelam. Dan kami kehabisan napas karena terus berlari dan berlari.

Tapi di suatu titik, aku merasa bahwa bukan seperti itu.

Jalan yang aku lalui terjal, tapi bagai jalanan beraspal untuknya. Kabut yang aku hirup ini tebal dan menyesakkan, tapi ini adalah jalan terang penuh oksigen baginya. Aku berlari sempoyongan di jalan ini; dan dia berada di depanku. Berjalan. Dan semua yang aku lakukan sejauh ini adalah mengejar bayangannya. Aku menyadari bahwa aku kesulitan bernapas bukan karena kabut-kabut tebal ini, melainkan aku yang kelelahan mengejar dirinya. Aku yang kehabisan napas akibat terus berlari mengejar dia yang berada di depanku.

Aku tidak menyalahkan dia yang berjalan terlalu cepat sebelumku, karena setiap orang memang punya kecepatannya masing-masing ‘kan? Mungkin saja aku yang terlalu lambat, atau segala hal kupelajari tentang ‘berlari’ adalah ‘berjalan’ bagi orang lain. Apa yang telah kita lalui menentukan bagaimana kita melihat dunia, dan bagaimana cara kita menanggapi dunia di masa depan. Jadi ini bukan tentang ‘salah siapa’, melainkan tentang bagaimana kita mensinkronkan dunia-dunia yang ada hingga relasi akan tetap terjaga. Bagaimana menyamakan duniaku dan duniamu. Bagaimana menyamakan ‘berlari’ku dan ‘berjalan’mu.

Mungkin memang benar, bahwa satu-satunya cara untuk menyamakan dunia ini adalah dengan berkomunikasi. Apa salahnya memanggil dia yang berada di depan, untuk menyamakan kecepatan berlari kami? Semuanya tentang keterbukaan, dan bagaimana kita mau menerima dunia orang lain yang berbeda dengan dunia kita. Dengan begitu, bukankah pelarian ini akan menjadi lebih menyenangkan?

Maka dari itu, biarkan aku membenarkan statement di awal tadi:

Berlari mengejarnya memang menyenangkan. Tapi daripada kami mati karena kehabisan napas, lebih baik kami berjalan bersama di kecepatan yang sama. Hidup tidak pernah menuntut kami untuk menjadi yang terdepan, jadi tak perlulah kami terburu-buru.

20 Januari 2019, 02.56.

Untuk V, selamat malam.

Related posts:

I solemnly swear to tell you the truth, the whole truth and nothing but the truth. How many of you can say your actively trying to find the truth? Probably not many. This was me once. I swore to…

Stoicism is good if you are going through a really bad time, midlife crisis or in prison. If you are confined, alone and mentally tortured — stoicism brings mental toughness. But If you are living…

Prisho is a well-known Indian fashion brand that has been making waves in the fashion industry with its innovative designs and unique approach to traditional Indian wear. One of the brand’s most…